Saturday, 2 November 2013

Malam sudah mulai larut dan aku masih melihatnya pada perjalanan pulang ke rumah. Lelaki tua itu masih di sana. Persimpangan jalan tanpa lampu lalu lintas yang merupakan jalur penghubung antar kota.

Dengan seragam hijaunya, ia berdiri tegak di tengah perempatan. Menggerakkan tangannya sembari meniup peluit sebagai tanda kendaraan dapat maju jalan. Kemudian ia memberikan tanda untuk berhenti, dan beralih ke sisi jalan yang lain. Begitu seterusnya. Selama hampir 6 tahun aku melewati persimpangan tersebut, dan selama itu pula lelaki tua itu berada di sana.

Aku pernah melihat pemandangan serupa di perempatan jalan lain di tengah kota. Tatkala lampu merah sedang rusak ataupun ketika sistem pengaturan lalu lintas menjadi dinamis, Polisi Lalu Lintas akan turun ke jalan untuk mengatur arus kendaraan.

Sayangnya lelaki tua ini bukanlah polisi. Setidaknya ia tidak mengenakan seragam polisi. Dari seragam hijau dan atribut yang ia kenakan, orang mungkin akan mengira ia adalah hansip. Kalau memang benar, kenapa hansip yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban daerah setempat harus berjibaku untuk mengatur lalu lintas di persimpangan ini?

Ah, bukan, ia bukan hansip. Awal-awal aku melihatnya, lelaki tua itu masih mengenakan pakaian biasa, namun dilengkapi dengan sarung tangan biasa, jaket tanpa lengan yang memantulkan cahaya, dan tetap dengan peluitnya. Entah sejak kapan, ia menjadi berseragam.

Ada asumsi bahwa lelaki tua itu adalah seorang veteran. Mengingat bahwa beberapa kilometer dari persimpangan itu terdapat kompleks perumahan veteran.
Siapapun lelaki tua itu, bagiku, ia adalah seorang pahlawan.

Aku memang belum berkesempatan untuk mengenalnya. Terlebih dengan kondisi kuliah sekarang, intensitas melewati persimpangan itu menjadi berkurang. Ibuku pernah berkata bahwa lelaki tua itu selalu di sana, dan ibuku pernah memberi sebuah nasi bungkus untuknya, namun tak sempat bertanya macam-macam.

Ada satu hal yang aku yakini. Bahwa lelaki tua itu melakukannya dengan lapang dada. Ia bukan ‘pak ogah’ seperti di banyak tempat yang meminta imbalan atas jasa yang tidak diminta atau yang bahkan sering marah ketika diberi uang kurang dari 500 rupiah. Selama bertahun-tahun, lelaki tua itu mengatur lalu lintas di persimpangan. Melawan teriknya siang dan dinginnya malam. Terkadang ada beberapa pengemudi yang sembari lewat memberikan uang sebagai ucapan terima kasih padanya.

Lelaki tua itu lebih memikirkan bagaimana ia bisa memberi dan bermanfaat untuk orang lain. Bukan seperti lelaki tua lain di persimpangan jalan lainnya yang bahkan berpura-pura cacat untuk menerima santunan.

Lelaki tua itu memberikan sebuah pelajaran hidup.
"Blessed are those that can give without remembering and receive without forgetting." - Elizabeth Bibesco

0 comments:

Post a Comment

 
Toggle Footer