Friday, 19 December 2014


"One day I'll remember. Remember everything that happened: the good, the bad, those who survived... and those that did not." - Bilbo Baggins

Huwaaafinally, film terakhir dari trilogi The Hobbit, "The Hobbit: The Battle of the Five Armies", keluar juga tanggal 17 Desember kemarin. Saya rasa film ini sudah ditunggu-tunggu bagi pecinta LOTR dan The Hobbit dari satu tahun yang lalu. Saya yang sudah antusias, langsung saja mengajak adik untuk nonton pada hari itu juga dan do'i langsung setuju karena sudah saya racuni dengan film LOTR dan The Hobbit sebelumnya.

Post Film The Hobbit terakhir.
Saya mungkin tidak terlalu fanatik hingga tidak terlalu mengetahui seluk beluk kisah legenda di Middle Earth atau Tolkien's Legendarium. Hanya mulai dari menonton trilogi Lord of The Rings, bahkan sampai nonton berkali-kali di laptop, rasanya saya langsung jatuh cinta dan kurang afdol kalau tidak menonton trilogi The Hobbit. Mungkin lebih afdol lagi bila membaca novelnya ya.

Well, mungkin persepsi dan impresi orang-orang akan berbeda ketika menonton film ini dan lagi-lagi saya katakan saya orang awam yang sekedar suka sekuel ini.

Film ini tentunya melanjutkan kisah "The Hobbit: The Desolation of Smaug", ketika akhirnya Smaug -naga penunggu Lonely Mountain- yang murka memutuskan keluar dari sarangnya dan menghancurkan Kota Danau. Smaug berhasil dikalahkan oleh Bard, namun penduduk Kota Danau yang telah kehilangan segalanya akhirnya memutuskan untuk berlindung ke atas gunung di reruntuhan Kota Dale. Thorin yang berhasil merebut kembali Erebor, menolak memberikan sebagian kekayaan di dalamnya untuk penduduk Kota Danau sebagaimana yang telah ia janjikan sebelumnya. Thorin telah terjangkit penyakit Smaug yang terlalu terobsesi atas kekayaan Erebor dan tergila-gila pada Arkenstone. Penduduk Kota Danau bekerja sama dengan pasukan peri Mirkwood yang dipimpin oleh sang raja, Thranduil, untuk menyerang kerajaan Erebor dan merebut apa yang menjadi hak mereka.

Bilbo yang diam-diam menyimpan Arkenstone, memutuskan untuk tidak memberikannya kepada Thorin karena sikapnya yang telah berubah. Bilbo dan Gandalf berusaha mencegah terjadinya peperangan di antara mereka. Hingga pada akhirnya, tiba-tiba pasukan besar orc dan warg dari Misty Mountain datang dan mengepung mereka semua. Manusia, peri, dan kurcaci akhirnya bekerja sama untuk mengalahkan mereka. Pasukan tambahan orc dan warg dari Gundabad juga kemudian datang dan memperburuk keadaan. Pada akhirnya, kemenangan dapat diraih ketika ada bala bantuan datang dari Beorn dan pasukan elang raksasa dari Misty Mountain, meskipun banyak tokoh yang harus gugur seperti Thorin, Fili, dan Kili. Cerita berakhir pada Bilbo yang kembali ke Shire, tentunya dengan membawa 'the one ring' yang akan menjadi awal mula kisah Lord of The Rings.


Secara umum, film ketiga the Hobbit ini bagus, tapi sejujurnya tidak sesuai ekspektasi. Mungkin saya terlalu berharap besar pada film terakhir ini, hingga akhirnya menjadi sedikit kecewa. Secara alur cerita agak kurang mendalam rasanya (mungkin filmnya panjangin saja sampai 4 jam hehehe), hingga akhirnya feel-nya agak kurang dapat dibandingkan film pertama dan kedua, apalagi bila dibandingkan dengan LOTR. Rasanya semuanya terjadi begitu cepat tanpa memberikan kesan mendalam, kurang 'ugh' gitu, bahkan hingga akhir cerita rasanya masih ada yang kurang. Seperti unfinished story. Meskipun, saya mengakui bahwa ada beberapa bagian detail yang bagus banget-banget-banget. Pokoknya di film ketiga ini, saya jatuh cinta dengan ketiga tokoh ini: Legolas, Thranduil, dan Bilbo.

Orlando Bloom sebagai Legolas.
Legolas tak perlu dipertanyakan lagi. Peter Jackson melakukan langkah yang tepat untuk memasukkan tokoh Legolas menjadi bagian film The Hobbit, meskipun tidak ada dalam cerita aslinya. Siapa sih yang tidak terkesima dengan kepiawaian dan pesona Legolas Greenleaf, pangeran Mirkwood? Apalagi tokoh ini diperankan oleh si ganteng Orlando Bloom yang bikin cewek meleleh. Peri yang satu ini tetap menunjukkan aksinya yang luar biasa. Terlebih saat Legolas bertarung dengan Bolg di sebuah reruntuhan menara. Kepiawaiannya ini hingga membuat orang-orang membuat meme lucu bahwa hukum fisika tidak berlaku padanya.

Yang membuat sedikit kecewa, Legolas dalam The Hobbit terlihat lebih tua dan lebih bapak-bapak dibandingkan dalam LOTR yang lebih muda dan imut-imut. Padahal kalau menurut alur cerita seharusnya lebih muda ya. Jelas sih, karena film The Hobbit baru muncul 9 tahun setelah film terakhir LOTR keluar, jadi pemerannya sudah semakin tua hehe. Di film The Hobbit, Legolasnya jarang senyum nih, jadi rindu senyuman manis Legolas di LOTR. Mungkin karena di alur cerita The Hobbit, Legolas tipikalnya lebih serius. Tapi, mau bagaimanapun juga, seperti kata orang, "The Elves always steal the show." Kya kya, Legolas ~

Thranduil, ayah dari Legolas.
Sementara Thranduil di film ketiga ini lebih banyak memiliki peran dibanding film kedua. Entah kenapa, saya suka banget sama wibawanya serta sikapnya yang kalem, sedikit angkuh, namun sepertinya masih ada kelembutan di lubuk hatinya. Apalagi ketika Thranduil dan Legolas berbicara satu sama lain sebagai ayah dan anak di bagian akhir film. Sepertinya, karakter peri itu memang cool banget ya.



Bilbo Baggins, pemeran utama
di film The Hobbit
Yang terakhir, jika ada yang menurut saya paling sukses memainkan perannya, maka orang itu adalah Martin Freeman atau Bilbo. Ia berhasil memerankan seorang hobbit, pencuri yang cerdik meski terkadang lola (loading lama), memiliki tingkah yang lucu, namun sebenarnya memiliki jiwa besar dan pemikiran mendalam. Hal tersebut sangat terlihat pada film ini terutama kepeduliannya pada penduduk Kota Danau dan juga pada Thorin. Bilbo memiliki ekspresi-ekspresi kecil yang unik, yang sejujurnya menjadi hal yang dinikmati oleh penonton. Saat ia bingung, saat ia berpikir, saat ia menyimpan rahasia, saat ia khawatir, saat ia merasa lega, dan lainnya. Saya benar-benar terhibur dengan kelucuannya dan benar-benar tersentuh dengan kebesaran hatinya, terlepas dari sosoknya yang sebenarnya mulai berambisi pada cincin Sauron.

Ada satu bagian percakapan yang rasanya mellow banget pada film ini, yaitu ketika Thranduil menghampiri Tauriel yang menangisi jasad Kili, lelaki yang ia cintai.
Tauriel: "If this is love, I don't want it. Take it away, please! Why does it hurt so much?"
Thranduil: "Because it was real."
Sebenarnya, masih ada beberapa hal yang saya sendiri masih pertanyakan, terutama kelanjutannya hingga kisahnya bersambung ke LOTR. Misalnya tentang bagaimana nasib Tauriel yang telah diasingkan dari Mirkwood (meskipun karakternya belum jelas ada di novel aslinya) setelah peperangan tersebut usai, apalagi Legolas juga pergi untuk mencari Aragorn. Lalu bagaimana kisah Legolas yang patah hati, hingga akhirnya ia bergabung lagi di Fellowship of The Ring. Atau bagaimana dengan nasib Erebor selanjutnya. Mungkin saya harus baca-baca lagi kisah di bukunya.

Semoga saja masih ada film yang diangkat dari kisah Middle-Earth ini :)


3 comments:

  1. Karena udah nonton LOTR jadi kurang suka ama prekuelnya ini, gak jelek tapi harapan mungkin terlalu tinggi karena LOTR

    ReplyDelete
  2. Bener banget mas. LOTR emang the best banget. Semoga masih ada cerita yang diangkat film ya :)

    ReplyDelete
  3. Edy Alaihissatan5 January 2016 at 05:20

    LOTR the legend movie forever,,,,,
    karakternya begitu pas dan menyatu,masalah cincin kecil tp peristiwa sgt hebat,nurani,kejahatan,kebijakan,kompleks,istilah2 tempat dan nama tokoh sgt unik terkesan ancient bgt,cuma pas perang kurang natural misalnya darah2 keluar tdk ada,orc yg kokoh skali tebas dead,bgmna frodo lahir,penghianatan saruman,asal gollum kurng jelas,keseluruhan LOTR is the best.......

    Andai peter jackson membuat the hobbit dulu sblm LOTR pasti tmbah maksimal,o ya asal usul gandalf dan khidupan sauron isildur jg kuraang ekspos,,,

    ReplyDelete

 
Toggle Footer