Selamat jalan 2014 dan selamat datang 2015!
Sepertinya saya agak telat mengucapkan kalimat di atas mengingat sudah satu minggu euforia tahun baru berlalu. Maafkeun, berhubung kemarin benar-benar masa transisi bagi saya ke awalan yang baru, jadi lah belum ada koneksi internet.
Kenapa awalan baru? Bukan kah saya sudah melewati 20 kali tahun baru sebelumnya? Dan selalu ada awalan yang baru di sana? Mungkin tak salah, tapi mungkin inilah masa transisi terhebat yang saya rasakan. Saya mulai membuka mata tentang pahitnya realita hidup, tentang pentingnya mengambil keputusan, dan sulitnya menjaga impian.
Sedikit kilas balik, 2014 merupakan tahun yang menyenangkan untuk dikenang, namun terkadang terharu mengingat perjuangannya. Di tahun ini, saya mengakhiri masa jabatan dalam mengarungi bahtera bersama dengan 18 orang-orang hebat di himpunan mahasiswa jurusan. Sebuah tempat dimana saya menemukan 'keluarga'. Di tahun ini pula, saya mulai fokus pada tugas akhir atau skripsi yang agak terabaikan di semester sebelumnya. Tentunya bersama partner saya, kami mengembara, banting tulang, dan menguras otak demi menaklukan sandungan terakhir menuju gelar sarjana. Hingga akhirnya kami maju sidang tugas akhir juga, walau tidak bisa wisuda bulan Juli. Tak masalah, karena wisuda Oktober selalu lebih ramai dan menjadi pilihan favorit.
Untuk pertama kalinya mengenakan kebaya lagi setelah karnaval waktu TK dahulu, berlapis pakaian toga dan menggenggam ijazah, Sabuga saat itu menjadi saksi bisu dari rasa haru yang saya rasakan. Bisa menghadirkan ibu dan bapak ke jajaran orang tua yang putra dan putrinya berhasil menyelesaikan studi di salah satu kampus terbaik di nusantara. Rasanya haru sekali bisa membuktikan bahwa keputusan yang telah aku buat dahulu tak salah. Meski banyak pengorbanan yang harus dilakukan.
Euforia momen bahagia 2014 cukup sampai di sana. Nasihat dosen-dosen di kampus benar adanya. Ini bukanlah akhir, melainkan sebuah awal. Ini adalah tentang apa yang ingin kita lakukan selanjutnya. Tentang bagaimana menata masa depan kita selanjutnya.
Penghujung 2014 penuh dengan rasa dilema. Antara realita dan mimpi-mimpi. Saya sudah menyimpan jauh-jauh mimpi untuk melanjutkan sekolah lagi. Mungkin belum saatnya. Kini masalahnya lebih pelik, tentang pekerjaan. Lebih pelik dari menentukan sekolah karena rasanya akan sangat berpengaruh terhadap masa depan. Bahkan lebih pelik dari menentukan pasangan.
Di sinilah mataku mulai terbuka lebar tentang realita. Banyak orang yang kemarin-kemarin beretorika; mengatakan hal idealis, menjunjung tinggi passion dan mimpi. Namun banyak pula dari orang-orang tersebut yang UUD (ujung-ujungnya duit). 'Money is everything' ekstrem nya sih. Banyak dari mereka yang menjadikan uang sebagai parameter penting dan utama dalam mencari pekerjaan. Sebut saja orang-orang yang antusias untuk bekerja di Oil & Gas Company yang pastinya memiliki kompensasi yang menggiurkan bahkan untuk fresh graduate saja. Teman-teman saya juga.
Tak salah juga sih. Saya rasa ini hanyalah soal prioritas. Uang mungkin salah satu faktornya. Sekali lagi saya sebut 'salah satu'. Saya percaya bahwa 'salah satu' yang lain adalah tentang apa yang kau senangi dan kau ingin lakukan. Mungkin orang lain menyebutnya dengan passion, tapi saya kurang suka dengan penyebutan itu. Saya punya mimpi dari sejak saya kuliah tentang apa yang ingin saya kerjakan setelah lulus. Mimpi yang saat itu murni dari keinginan dan kesenangan saya, tanpa memikirkan materi, prospek masa depan, dan sebagainya.
Saya dihadapkan pada pilihan yang sulit. Melihat realita yang ada dan mendapatkan tekanan dari mana-mana. Melihat realita yang ada, bidang yang saya impikan memiliki prospek yang entah seperti apa, berbeda dengan bidang yang satunya yang memiliki peluang besar di dunia kerja dan gaji yang lebih besar. Teman-teman saya juga melihat hal yang sama dengan alasannya masing-masing. Bekerja di perusahaan yang besar mungkin selalu menjadi dambaan dan kebanggaan. Tekanan dari orang tua juga sedemikian memberatkan. Mereka tentunya menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya. Sesuatu yang lebih menjanjikan bagi masa depan putrinya. Setidaknya dari sudut pandang mereka.
Lagi-lagi, saya merasa harus membuat sebuah keputusan besar dalam hidup saya. Tentang apa yang ingin saya kerjakan selanjutnya. Saya mencoba meminta pendapat dari berbagai orang, namun tak ada yang meyakinkan hati saya yang bimbang. Hanya Ia-lah yang mampu membolak-balikkan hati hamba-Nya. Jawaban selalu ada di dalam lubuk hati kita yang terdalam. Dan hati nurani saya menuntun saya untuk tidak berpaling dari mimpi yang saya dambakan. Bila tidak, maka saya merasa tak akan pernah kembali menemukan jalannya. Saya percaya bahwa selama itu adalah pilihan hati, maka tak ada yang perlu disesali. Seperti halnya dengan keputusan-keputusan yang telah saya buat bertahun-tahun sebelumnya. Soal masa depan, kita hanya bisa berusaha dan berserah diri pada-Nya. Tak perlu memandang orang, karena insya Allah, Ia telah mempersiapkan jalan yang terbaik untukmu di depan sana.
Tahun 2014, saya akhiri dengan membuat sebuah keputusan besar untuk mengikuti kata hati tentang apa yang ingin saya lakukan. Dan memasuki tahun 2015, saya memulai untuk melakukannya. Memasuki sebuah awalan baru, setapak demi setapak, menuju impian di masa depan. Welcome to work life!
Bekerja sesuai dengan apa yang kau senangi? Itu luar biasa, karena sangat sedikit orang yang bisa bekerja sesuai dengan passion-nya. Bekerja meski tidak sesuai dengan passion, namun kau mendapatkan banyak uang dan merasa senang? Itu juga tak mengapa, kawan. Saya hanya berpesan, seberapa pun kecil mimpimu, jangan pernah kau lupakan. Dan seberapa besar pun mimpimu, jangan pernah kau biarkan.
0 comments:
Post a Comment