Thursday, 6 November 2014

Contoh PKL di Luar Negeri.
Pedagang kaki lima (PKL) memang bermanfaat bagi masyarakat karena menawarkan barang dengan harga jual yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan barang di toko atau di mall. Sayangnya, PKL sering sekali berlaku tidak tertib dan mengganggu kenyamanan sekitar. Belum lagi pelanggaran yang dilakukan oleh pedagang yang mendirikan bangunan liar untuk berjualan menetap. Cek "PKL, Oh PKL".

Pedagang yang menetap tersebut telah mengambil ruang publik secara sepihak dengan membuat bangunan permanen dan dipergunakan secara kontinu. Dengan berjualan permanen, preman dan oknum birokrasi mendapatkan keuntungan besar dari pemberian izin lokasi dan pengutipan uang bulanan. Pedagang menetap juga telah merebut hak warga kota seperti pejalan kaki yang seharusnya menjadi pengguna ruang dimana mereka mendirikan bangunannya. Keberadaan bangunan liar yang mereka bangun juga membuat kota tampak kumuh dan semrawut. Belum lagi, banyak pedagang dan penyedia jasa fotokopi, bengkel, dan kegiatan komersial lain dalam ukuran yang besar dengan profit penjualan yang besar di atas UMR sehingga tak layak dianggap sebagai PKL.

"Untuk kasus-kasus PKL menetap tersebut seharusnya tidak ada toleransi dan harus dibongkar!" ujar Pak Apep, Urban Designer sekaligus Dosen Arsitektur ITB.

Beliau memberikan rekomendasi bahwa PKL harus dikembalikan pada fitrahnya yaitu dengan membatasi omzetnya, membatasi ukuran gerobak jualan, dan harus bergerak.  Jangan pernah biarkan PKL menetap. Dengan melakukan pembatasan tersebut maka PKL tidak perlu lagi diatur mengenai daerah lokasi berdagangnya. Hal tersebut terbukti dengan tidak efektifnya peraturan zona merah, kuning, dan hijau. Yang perlu diatur bukan lokasi tetapi posisi berdagangnya di ruang publik seperti di trotoar, taman, dan sebagainya sehingga tetap tertata dan tidak mengganggu sekitar.

Selain itu pemerintah juga bisa menyediakan zona khusus bagi PKL dengan ukuran yang lebih besar di area-area tertentu dengan konsep time-sharing. Seperti tempat parkir yang malam hari tidak dipergunakan atau jalur jalan di kawasan yang sepi pada malam hari. Alhamdulillah, saat ini Kang Emil telah memfasilitasi poin yang satu ini dengan mengadakan culinary night pada beberapa titik di kota Bandung.

Berikut adalah beberapa contoh yang Pak Apep berikan mengenai PKL yang sebenarnya dan harus diberikan ruang berusaha di ruang-ruang publik kota.


Beberapa pedagang di Bandung juga sudah berjualan dengan tidak menetap atau bergerak.


PKL seharusnya dikembalikan seperti contoh di atas dan diberikan keleluasaan untuk bergerak dan berjualan. Tentunya dengan mengatur posisi berjualan di ruang-ruang publik. Di New York contohnya, ada panduan atau guideline posisi berdagang di trotoar yang diberikan kepada PKL.


Bagi PKL-PKL bermodal besar, pemerintah bisa mengadakan event khusus atau zona khusus dengan time sharing sehingga mereka dapat berjualan dalam batas waktu tertentu, misalnya dari sore hingga dini hari.


0 comments:

Post a Comment

 
Toggle Footer