Pulang kampus naik motor paling stress apabila melewati daerah pasar atau daerah pusatnya para PKL. Macetnya berbeda dengan macet di perempatan lampu merah. Macetnya nggak kira-kira. Kalau pengendara mobil harus bersaing dengan pengendara motor? Itu hal biasa. Kali ini, bayangkan saja kami juga harus bersaing dengan para pejalan kaki. Daerah-daerah seperti ini sangat banyak di Bandung dan merupakan akumulasi dari berbagai masalah.
![]() |
Kemacetan di Kawasan Pasar Baru. |
Tengok saja beberapa tempat yang terkadang saya lewati seperti daerah Pasar Baru, Pasar Simpang Dago, Cicadas, Jalan Otista, dan masih banyak lagi. Awalnya bermula dari PKL yang membuka lapak permanen dengan menggunakan trotoar bahkan bahu jalan. Kemudian pengendara yang ingin membeli dagangannya dengan seenaknya parkir di pinggir jalan hingga tumbuh menjadi sarana parkir liar.
Bagaimana dengan pejalan kaki? Trotoar tempat mereka berlalu lalang pun sudah tak nyaman karena sesak dengan PKL atau bahkan tidak bisa dilewati. Mencoba melewati pinggir jalan, sudah penuh sesak dengan jajaran kendaraan yang parkir. Akhirnya ada yang nekat untuk jalan di jalan raya meski harus nyerobot jalur kendaraan yang lewat. Ini ceritanya belum ditambah dengan angkot yang suka ngetem seenaknya, ya.
Harusnya mulai dibenahi dengan penertiban PKL-nya dong. Gusurrr... Gusurrr... Eits, cerita soal gusur-gusuran, jadi ingat dengan kejadian penggusuran PKL belakang kampus pada Januari 2013 silam (meski akhirnya mendirikan bangunan lagi). Seperti biasa menuai banyak pro-kontra. Di satu sisi, ada orang yang berjuang dan mati-matian membela PKL, mengandalkan hati nuraninya dalam menolong yang lemah. Di lain sisi, ada orang yang mengerti dan tahu betul mengenai kebijakan dan aturan dan membenarkan hal tersebut dilakukan. Kutipan lebih lengkapnya, cek Majalah Boulevard #74.
![]() |
Pak Apep, Urban Designer, Dosen Arsitektur ITB. |
Saat itu, saya sempat sharing dengan Bapak Achmad D. Tardiyana atau Pak Apep, salah satu dosen Prodi Arsitektur sekaligus seorang urban designer. Kala itu saya mendapatkan pencerahan yang cukup jelas untuk mengenal lebih dekat tentang PKL dari beliau.
Beliau menjelaskan bahwa menurut Perda Kota Bandung No.4 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan PKL:
- Pedagang kaki lima (PKL) adalah pedagang yang melakukan usaha perdagangan di sektor informal yang menggunakan fasilitas umum baik di lahan terbuka dan/atau tertutup dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak. (Pasal 11)
- Lokasi berdagang PKL adalah batas-batas wilayah tertentu sesuai dengan pemanfaatan wilayah tersebut yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan bagi PKL. (Pasal 15)
- Relokasi adalah proses pemindahan tempat berdagang bagi PKL. (Pasal 17)
Dari sharing tersebut, saya mendapatkan bahwa masyarakat (termasuk mahasiswa) keliru menafsirkan peraturan tersebut dengan menyatakan bahwa PKL berhak berdagang secara menetap. Kata tidak bergerak, lokasi, dan relokasi di atas pasti mengimplikasikan bahwa PKL berhak berjualan dan menetap secara permanen di suatu lokasi. Sehingga apabila tempat berdagang tetap mereka digusur, mereka mengklaim telah diperlakukan tidak adil dan berhak mendapatkan gantinya untuk kembali berjualan secara menetap.
“Pada saat menyebut PKL, kita tidak bisa menyamaratakan semua pedagang sebagai PKL. Pedagang yang menetap dan mendirikan bangunan itu yang melanggar dan mengganggu, sedangkan pedagang yang mobile dengan gerobak atau pikulan tidak mengganggu,” ujar Pak Apep.
Persoalan mendasar penataan dan pembinaan PKL adalah tidak dibatasinya omzet bagi PKL. Sehingga banyak pemodal besar dengan omzet besar pula masih memanfaatkan kelemahan peraturan dan penegakan peraturan ini dengan menjadi PKL. Dari sisi omzet yang besar ini, seharusnya mereka tidak layak disebut sebagai PKL. Bahkan pedagang dengan modal yang cukup besar inilah yang sering kali mendirikan bangunan liar untuk berjualan secara menetap.
Pembiaran yang dilakukan pada PKL yang berjualan secara menetap ini membuat munculnya 'penguasa jalanan' atau 'preman' yang menjadikan lokasi berjualan ini sebagai aset berharga. Kelompok ini selalu mendukung pedagang untuk menetap karena mereka mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari pengutipan 'uang keamanan' atau 'uang sewa'. Bahkan terkadang ada oknum-oknum kedinasan yang juga ikut bermain di sana.
Lalu, bagaimana seharusnya PKL ini ditangani? Bagaimana seharusnya fitrah PKL ini? Apa maksud berjualan dengan peralatan bergerak maupun tidak bergerak? Baca: "Bagaimana PKL Seharusnya".
0 comments:
Post a Comment